Layaknya Romadhon yang disebut-sebut sebagai bulan Pelatihan, maka Syawal dikenal sebagai bulan Peningkatan. Apa yang kita latih, atau apa telah kita dapatkan di Romadhon sudah selayaknya kita tingkatan di bulan Syawal. Bukan malah mengendur atau hilang tidak berbekas. Karena suksesnya Romadhon dilihat dari aktualisasi di sebelas bulan berikutnya, apakah masih continuity atau malah telah terganti dengan aktifitas daily yang biasa dilakukan sebelum Romadhon tiba. Apabila seperti itu (kembali kepada aktifitas diluar Romadhon), maka yang didapat hanyalah makna Romadhon yang tak jauh berbeda seperti pasar kaget (Pasar Romadhon). Serentak, gempita namun seketika lenyap oleh adanya batas momentum. Padahal untuk melakukan perbaikan, meninggikan kwalitas, selama diri ini masih bernafas, tidak ada istilah ‘batas’. Semuanya harus terus diupayakan dan senantiasa ditingkatkan sampai diri ini menempati posisi seperti yang dicita-citakan. Posisi sebagai seorang mukmin/muslim, mujahid, umat atau muttaqin.
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan muslim (3:102).
Dari keterangan ayat diatas, seandainya boleh berpendapat, bisa dibilang Muslim itu adalah standar minimal yang diberikan Alloh kepada orang beriman. Lalu, puaskah kita hanya dengan menyandang gelar ‘muslimin’, walau pada kenyataannya masih banyak potensi yang bisa kita kerahkan untuk menjadi seorang mujahid, umat, atau bahkan muttaqin. Manusia diberikan potensi yang sama; akal, ruh, dan jasad. Yang membedakan dalam pencapaian, hanyalah pemikiran dan keinginannya dalam pengelolaan potensi yang telah diberikan. Tidak diharamkan kita mengejar posisi yang telah Allah sediakan, bahkan sangat dianjurkan untuk bisa berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoirot). Itupun jika seandainya kita ingin menjadi insan yang unggul sebagaimana yang Dia diharapkan.
Bagi seseorang yang sudah bekerja, mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya adalah angan-angan yang wajib untuk direalisasikan. Sehingga tidak sedikit dari kita yang sampai berdarah-darah rela melakukan berbagai pekerjaan semata agar bisa dipromosikan. Bahkan sampai ada yang memakai cara tak lazim untuk mempercepat naiknya jabatan. Dan seringnya pandangan duniawi-lah yang kita pedulikan, tanpa kita sadari bahwa penilaian-Nya lah yang seharusnya kita utamakan. Pandangan manusia memiliki kecendrungan untuk bisa berat sebelah dan serba terbatas. Sedang pandangan-Nya begitu luas dan sarat kredibilitas, karena ‘Allah adalah Hakim yang (sudah tentu) Paling Adil..’
Maka dari itu, di bulan Syawal ini marilah kita sama-sama tingkatkan kuwalitas diri, hargai potensi yang diberikan dengan sebuah cita-cita diri untuk bisa memiliki kedudukan yang tinggi di mata Allah. Jangan mau berdiri di ambang batas, karena bisa jadi membuat kita mudah untuk tidak ikut tinggal landas. Kita harus jadi sayap, kita harus jadi perut atau mungkin pada akhirnya kita pun bisa jadi kepala. Yang mana hal itu tidak terlepas dari usaha yang secara continue dilaksanakan dan terus ditingkatkan. Ada sebuah anekdot; Allah menciptakan surga itu tidaklah seluas neraka. Sehingga untuk yang berada ditepi surga, bersiap-siaplah tersingkir karena kini banyak orang berfikir dan lebih mempedulikan hari akhir. Mereka berlomba dalam kebaikan dan berjuang untuk sebuah posisi terbaik dimata Allah.
*Tulisan ini semata-mata cermin untuk diri penulis sendiri, yang senantiasa lalai dan alpa dalam memelihara. Sama-sama kita berfikir dan belajar..